Sutejo Ibnu Pakar

Senin, 07 November 2016

PAI D-V



KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat waktu. Sholawat dan salam kami sampaikan kepada Rasulullah SAW yang senantiasa menjadi panutan dan inspirator bagi kami karena ahlak-Nya yang agung.
Penyusunan makalah dari awal hingga akhir didukung oleh berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. H. Abdul Ghofar, M.Ag  sebagai dosen mata kuliah Masail Fiqiyah  dan semua pihak yang membantu penyusunan makalah kami yang berjudul “”.
Makalah ini disusun sebagai bagian dari tugas terstruktur mata kuliah Masail Fiqiyah dan untuk memahami apa yang dimaksud dengan
Saran dan kritik kami harapkan dari para pembaca agar makalah ini lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat untuk diri penulis dan pembaca.



Cirebon,  September 2016


Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
A.    Latar Belakang.....................................................................................
B.     Rumusan Masalah.................................................................................
C.     Tujuan Masalah.....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
BAB III PENUTUP.......................................................................................
A.    Kesimpulan...........................................................................................
B.     Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA














BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa asuransi bukanlah hal yang baru dalam kehidupan zaman sekarang. Keberadaannya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat, dari mulai asurasni kesehatan, jiwa, kecelakaan, dan lain sebaginya. Di mana asuransi berperan sebagai pertanggungan atas masalah atau musibah yang akan terjadi di masa yang akan datang, yang tidak diketahui apa, kapan, dan bagaimana masalah tu akan terjadi menimpa seseorang. Asuransi sebagai penanggung, tentunya sangat membantu dan meringankan beban seorang penanggung. Dengan konsep ini, asurasni sangat menarik masyarakat untuk mempunyai asuransi agar terjamin ketika terkena suatu permasalahan. Namun, keberadaan asuransi sendiri banyak mengundang pendapat dari para ulama khususnya, terutama suransi konvensional yang tentunya berbeda dengan asuransi Syariah.
Di Indonesia sendiri sudah banyak perusahaan-perusahaan yang berjalan di bidang asuransi. Unutk memilah dan memilih asuransi tersebut, maka diperlukan pengetahuan yang cukup tentang pengertian dasar-dasar asuransi, serta hukumnya menurut Agama Islam. Maka dari itu, penulis bemaksud menuliskan penegtahuan tentang asuransi di antaranya, pengertian asuransi, sejarah asuransi, landasan dan prinsip asuransi, serta hukum asuransi dalam Agama Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian asuransi?
2.      Bagaimanakah sejarah asurasni?
3.      Apakah tujuan dan manfaat asuransi?
4.      Apa sajakah macam-macam dan prinsip dasar asuransi?

5.      Bagaimanakah hukum asuransi dalam Islam?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mahasiswa/i mengetahui pengertian asuransi
2.      Mahasiswa/i memahami sejarah asurasni
3.      Mahasiswa/i mengetahui tujuan dan manfaat asuransi
4.      Mahasiswa/i mengetahuimacam-macam dan prinsip dasar asuransi
5.      Mahasiswa/i memahami hukum asuransi dalam Islam




BAB II
PMBAHASAN

A.    Pengertian Asuransi
Kata Asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa popular dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”. Echols dan Shadilly memaknai kata insurance dengan (a) asuransi, dan (b) jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan).[1]
Di dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan istilah: at Takaful, atau at Tadhamun yang berarti: saling menanggung. Asuransi ini disebut juga dengan istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang berarti aman, tentram, dan tenang. Lawannya adalah al-khouf, yang berarti takut dan khawatir.[2] Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini (khususnya para peserta) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya yang menimpanya dengan adanya transaksi ini.
Adapun asuransi menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992:

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau

untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”

Dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan, bahwa asuransi adalah jaminan atas pertanggungan yang diberikan oleh penanggung (biasanya kantor asuransi) kepada yang tertanggung untuk resiko kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran, kecurian, kerusakan, dan sebagainya, ataupun mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau kecelakaan lainnya, dengan yang teretanggung membayar premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulannya.[3]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan asuransi yaitu hubungan antara pihak penanggung dan yang tertanggung, untuk memberikan ganti rugi kepada tertanggung bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan tertanggung membayar premi.

B.     Sejarah Asuransi
Konsep asuransi sebenarnya sudah dikenal sejak zaman sebelum Masehi di mana manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman , antara lain kekurangan bahan makanan. Salah satu cerita mengenai kekurangan bahan makanan terjadi pada zaman Mesir Kuno semasa Raja Firaun berkuasa.[4]
Sebagaimana diceritakan dalam al-Quran sejarah Nabi Yusuf as. yang pada masa itu Nabi Yusuf menta’wil mimpi sang raja bahwa selama 7 tahun negeri Mesir akan mengalami panen melimpah dan kemudian negeri Mesir akan mengalami masa paceklik selama 7 tahun berikutnya. untuk berjaga-jaga Raja Fir’aun pun mengikuti saran dari Nabi Yusuf agar menyisihkan hasil panen selama 7 tahun pertama sebagai cadangan untuk 7 tahun berikutnya agar terhindar dari bencana kelaparan.
Riwayat lain menurut Clayton bahwa ide asuransi muncul dan berkembang sejak zaman Babilonia sekitar 3000 tahun sebelum masehi.[5] Pada perkembangan asuransi yang tumbuh berkembang di barat kemudian berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.
Dalam literature Islam dikenal dengan konsep aqilah yang sering terjadi dalam sejarah pra-Islam dan diakui dalam literature hokum Islam. Jika ada salah satu anggota suku Arab pra-Islam melakukan pembunuhan, maka dia (si pembunuh) dikenakan diyat dalam bentuk blood money (uang darah) yang dapaat ditanggung oleh anggota suku yang lain. Hadits Nabi SAW.:







Artinya: “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW., maka Raulullah SAW. memutuskan ganti rugi dari pembunuh terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki).” (HR. Bukhari)[6]
Selain itu, Rasulullah Saw juga telah menetapkan menejemen sharing of risk dengan memberikan sejumlah kompensasi untuk berbagai kecelakaan akibat perang seperti: 5 ekor unta untuk luka tulang dalam, 10 ekor unta untuk kehilangan jari tangan atau kaki dan 12.000 dinar untuk kematian (untuk ahli waris).
Dari sejarah di atas dapat disimpulkan bahwa sejak awal konsep asuransi syariah berbeda dengan konvensional. Di mana sejarah asuransi syariah lebih kepada tolong menolong satu sama lain sedangkan konvensional lebih kepada mencari keuntungan semata.

C.    Tujuan dan Manfaat Asuransi
Secara umum tujuan asuransi yaitu untuk mengembalikan tertanggung pada posisi semula atau menghindarkan tertanggung dari kebangkrutan sehingga mampu berdiri seperti sebelum menderita kerugian. Sebagai sebuah perusahaan, melalui asuransi perusahaan dapat menghimpun Dana dari masyarakat dan menginvestasikannya untuk kepentingan bisnis yang memberikan keuntungan.
Tujuan asuransi dalam Islam lebih berorientasi pada kepentingan bersama bukan semata-mata perusahaan asuransi. Karena konsep dasar yang dikembangkan adalah prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggung jawab. Secara singkat asuransi dalam Islam, bertujuan untuk saling memberi rasa aman, tenteram, melindungi, kerjasama, persaudaraan, gotong royong. Dan solidaritas sosial merupakan orientasi asuransi Islam bukan semata mata orientasi ekonomi bisnis.
Asuransi Islam bertujuan untuk menghilangkan bahaya bukan untuk mencari keuntungan semata. Asuransi Islam menjamin kebutuhan manusia apabila tidak lagi mampu bekerja, atau tidak produktif karena suatu hal.   Asuransi manfaatnya cukup besar bagi kehidupan masyarakat, karena:
1.      Asuransi membuat masyarakat atau perusahaan menjadi lebih aman dari resiko kerugian yang mungkin timbul.
2.      Asuransi menciptakan efisiensi perusahaan (bussiness eficiency).
3.      Asuransi bisa dijadikan sebagai alat penabung (saving) yang aman dari gejolak ekonomi.
4.      Asuransi sebagai sumber pendapatan yang didasarkan pada financy the bussiness.
Dengan melihat manfaat asuransi tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa asuransi dapat membawa dampak yang positif bagi kepentingan hidup masyarakat. Bahkan, asuransi merupakan tuntutan masa mendatang seiring dengan kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta peradaban manusia.
Sedangkan manfaat dari asuransi yang bersifat Islam, seperti asuransi syariah adalah:
1.      Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
2.      Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
3.      Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
4.      Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
5.      Meningkatkanefesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
6.      Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti atau membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
7.      Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi dapat dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
8.      Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat mereka tidak dapat berfungsi (bekerja).

D.    Macam-macam dan Prinsip Dasar Asuransi
Para ahli berbeda pendapat di dalam menyebutkan jenis-jenis asuransi, karena masing-masing melihat dari aspek tertentu. Oleh karenanya, jenis-jenis asuransi ditinjau dari berbagai aspek, baik dari aspek peserta, pertanggungan, maupun dari aspek sistem yang digunakan.
1.      Asuransi ditinjau dari aspek peserta, maka dibagi menjadi :
a.       Asuransi Pribadi (Ta’min Fardi), yaitu asuransi yang dilakukan oleh seseorang untuk menjamin dari bahaya tertentu. Asuransi ini mencakup hampir seluruh bentuk asuransi, selain asuransi sosial.
b.      Asuransi Sosial (At-Ta’miin al-Ijtima’iy), yaitu jaminan yang diberikan kepada komunitas tertentu. Hal ini juga tidak mencari keuntungan, dan bukan asuransi khusus pada seseorang yang khawatir mengalami musibah tertentu. Tetapi ini bertujuan untuk membantu orang banyak, yang kemungkinan bisa berjumlah jutaan orang. Seperti pegawai negri sipil, anggota ABRI, orang-orang yang sudah pensiun, orang-orang yang tidak mampu dan lain sebagainya. Asuransi ini biasanya diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat mengikat, seperti Asuransi Kesehatan, Asuransi Pensiunan dan Hari Tua, asuransi pendidikan  dan lain sebagainya. (Dr. Syekh Husain bin Muhammad al Malah, (TTh:909)).
2.      Asuransi ditinjau dari bentuknya dibagi menjadi dua, yaitu :
a.       Asuransi Takaful atau Ta’awun. ( at Ta’min at Ta’awuni )
b.      Asuransi Niaga (at Ta’min at Tijari) ini mencakup: asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
3.      Asuransi ditinjau dari aspek pertanggungan atau obyek yang dipertanggungkan.
a.       Asuransi Umum atau Asuransi Kerugian ( Ta’min al Adhrar )
b.      Asuransi Jiwa. ( Ta’min al Askhas )
1)      Term assurance (Asuransi Berjangka)
2)      Whole Life Assurance (Asuransi Jiwa Seumur Hidup),
3)      Endowment Assurance (Asuransi Dwiguna), yaitu jumlah uang pertanggungan dibayarkan pada tanggal akhir kontrak yang telah ditetapkan.
4.      Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan, dibedakan menjadi
a.       Asuransi Konvensional adalah asuransi yang lebih mendasarkan pengalihan risiko dari nasabah kepada perusahaan asuransi, dengan konsep perjanjian antara dua belah pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima pergantian kepada tertanggung.[7]
b.      Asuransi Syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan Syariah, tolong menolong secara mutual yang melibatkan peserta dan operator.[8]
Adapun prinsip dasar asuransi antara lain
1.      Prinsip dasar asuransi pada umumnya adalah:
a.       Insurable interest (kepentingan yang dipertanggungkan), secara sederhana hal ini dapat dipahami bahwa orang itu akan menderita apabila peristiwa yang dipertanggungkan itu terjadi.
b.      Ulmost good faith (kejujuran sempurna) adalah bahwa kita berkewajiban memberitahukan sejelas-jelasnya dan teliti mengenai segala fakta-fakta penting mengenai obyek yang diasuransikan.
c.       Indemnity (indemnitas) adalah penggantian kerugian artinya penanggung menyediakan penggantian kerugian untuk kerugian yang nyata yang diderita yang tertanggung, dan tidak lebih besar daripada kerugian ini.
d.      Subrogation (subrogasi), prinsip ini telah diatur dalam undang-undang yang berbunyi: Apabila seorang penanggung telah membayar ganti rugi sepenuhnya kepada tertanggung, maka penanggung menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian pada tertanggung.”
e.       Contribution (kontribusi): tertanggung dapat saja mengasuransikan harta benda yang sama pada beberapa perusahaan asuransi. Namun apabila terjadi kerugian atas obyek yang diasuransikan, maka secara otomatis berlaku prinsip kontribusi.
f.       Proximate cause (Kausa proksimal), apabila kepentingan yang diasuransikan mengalami musibah atau kecelakaan, maka pertama-tama penanggung akan mencari sebab-sebab yang aktif dan efisien yang menggerakkan suatu rangkaian peristiwa tanpa terputus sehingga pada akhirnya terjadilah musibah atau kecelakaan tersebut.[9]
2.      Dalam Islam prinsip dasar asuransi didasarkan pada prinsip yang luhur dan yang biasa digunakan adalah:
a.       Prinsip salaing bekerjasama dan saling tolong menolong.
b.      Saling melindungi dalam segala kesulitan dan kesusahan.
c.       Prinsip saling bertanggung jawab.
d.      Prinsip menghindari unsur riba, gharar, judi dalam berasuransi.
e.       Prinsip mudharabah.
3.      Prinsip dasar yang baisa digunakan dalam asuransi syariah, yaitu ada 9 macam:
a.       Prinsip Tauhid (unity), adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan dalam syariah Islam. Artinya bahwa dalam setiap gerak langkah serta bangunan hukum harus mencerminkan nilai-nilai ketuhanan.
b.      Prinsip keadilan (justice), adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi.
c.       Prinsip tolong-menolong (ta’wun), adalah seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapatkan musibah atau kerugian.
d.      Prinsip kerjasama (coorperation), merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur islami. Manusia sebagai makhluk yang mendapat mandate dari Khaliq-nya untuk mewujudkan perdamaian dan kemakmuran di muka bumi mempunyai wajah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk social.
e.       Prinsip amanah (trustworthy/al-amanah), dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggungjawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode.
f.       Prinsip kerelaan (al-ridha), dalam ekonomika islami berdasarkan firman Allah SWT.:

Artinya: “….kerelaan di antara kamu sekalian….” (QS. an-Nisa’ [4]: 29)
Ayat ini menjelaskan tentang keharusan untuk bersikap rela dan ridha dalam setiap melakukan akad (transaksi), dan tidak ada paksaan antara pihak-pihak yang terkait oleh perjanjian akad.
g.      Larangan riba, dalam setiap transaksi, seorang muslim dilarang memperkaya diri dengan cara yang tidak dibenarkan. Firman Allah SWT:




Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa [4]: 29)
h.      Larangan maisir (judi), allah SWT. telah memberi penegasan terhadap keharaman melakukan aktivitas ekonomi yang mempunyai unsur maisir (judi).
i.        Larangan gharar (ketidakpastian), sebagaimana sabda Rasulullah SAW:


Artinya: “Dari Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW. melarang jual-beli hashah dan jual beli gharar.” (HR. Bukhari-Muslim)[10]

E.     Hukum Asuransi dalam Islam
Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya. Hal tersebut adalah yang menjadi dasar hukum asuransi.
Mengkaji hukum asuransi menurut syariat Islam sudah tentu dilakukan dengan menggunakan metode ijtihad (reasoning/exercise of judgement) yang lazim dipakai oleh ulama mujtahidin dahulu. Dan di antara metode ijtihad yang mempunyai banyak peranan di dalam mengistinvatkan masalah baru yang tidak ada nashnya di dalam Al Quran dan Hadits adalah masalah mursalah atau isthislah (public good) dan qiyas (analogical reasoning).
Para ulama membagi asuransi ke dalam asuransi individu dan asuransi benda. Ada bentuk asuransi lain yang disebut dengan asuransi pertangungjawaban. Asuransi atas benda adalah seperti: asuransi kendaraan, asuransi barang dagangan, asuransi barang berharga, asuransi kebakaran, dan sebagainya. Apabila jangka waktu asuransi ini tertentu maka tidak masalah. Demikian pula dalam sebagian asuransi individu, seperti: asuransi jiwa, asuransi kesehatan dengan terbatasnya jangka waktu adalah tidak masalah.
Menurut Masjfuk Zuhdi menerangkan bahwa di kalangan ulama dan cendekiwan Muslim ada 4 (empat) pendapat tentang hukum asuransi, yakni:[11]
1.      Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarang ini, termasuk asuransi jiwa.
Pendapat pertama (yang mengharamkan) didukung oleh: Sayid Sabiq, Abdullah al-Qalqili, Muhammad Yusuf al-Qarsdhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’i. Alasan–alasan mereka mengharamkan asuransi adalah sebagai berikut :
a.       Asuransi pada hakekatnya sama dengan judi. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam QS. Al-Maidah ayat 90 :



Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi,berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90)
b.      Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:

Artinya: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang jual beli dengan kerikil dan jual beli gharar.”(HR. Muslim, no. 1513)
Jual beli dengan kerikil, seperti seorang penjual mengatakan “Aku menjual kain yang terkena kerikil yang aku lemparkan”. Atau “Aku menjual tanah ini mulai sini sampai jarak kerikil yang aku lemparkan”. Atau semacamnya yang tidak ada kejelasan. Sedang jual beli gharar yaitu jual beli yang mengandung ketidak jelasan, tipu-daya, dan tidak mampu menyerahkan barang, seperti menjual ikan di dalam kolam, menjual burung yang terbang di udara, dan semacamnya. (Lihat Syarh Muslim karya Imam Nawawi).
c.       Mengandung unsur riba. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 278:


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.”(QS. Al Baqarah: 278)
d.      Mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang surat perjanjian (polis) kalau tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan.
e.       Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam kredit berbunga (praktek riba).
f.       Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar mata uang tidak dengan tunai (cash and carry).
g.      Asuransi mengandung unsur pemerasan. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 188 :



Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan kamu membawa harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 188).
h.      Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Esa.
i.        Perjanjian asuransi, di dalamnya mengandung pengambilan harta orang lain dengan tanpa imbalan, ini merupakan kebatilan.
2.      Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya sekarang ini.
Menurut Masjfuk Zuhdi, yang membolehkan asuransi antara lain Abdul Wahab Khallaf; Mustafa Ahmad Zarqa, Profesor Hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria; Muhammad Yusuf Musa, Profesor Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir; dan Abdurahman Isa, pengarang Al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkamuha. Alasan membolehkan asuransi, termasuk asuransi jiwa, adalah sebagai berikut:[12]
a.       Tidak ada nash Al - Quran dan Hadits yang melarang asuransi. Al - Quran sama sekali tidak menyebut-nyebut hukum asuransi. Sehingga hukumnya tidak bisa diharamkan begitu saja. Karena semua perkara muamalat punya hukum dasar yang membolehkan, kecuali bila ada hal - hal yang dianggap bertentangan.
b.      Ada kesepekatan atau kerelaan antar kedua belah pihak.
c.       Saling menguntungkan kedua belah pihak.
d.      Mengandung kepentingan umum (maslahah ‘amah), sebab premi-premi yang terkumpul bisa di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan.
e.       Asuransi termasuk akad mudharabah, artinya akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing (PLS).
f.       Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’wuniyah).
g.      Di Qiyaskan (analogi) dengan sistem pensiun, seperti Taspen.
Menurut Muhammad Thantawi, dkk, mengungkapkan pendapat Abdul Wahab Khallaf dan Muhammad al-Bahi. Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa transaksi jiwa adalah transaksi yang sah dan bermanfaat, baik bagi nasabahnya, perusahaan maupun masyarakat. Transaksi tersebut merupakan tabungan dan mencerminkan tolong menolong demi kemaslahatan nasabah dan ahli waris jika nasabah tiba - tiba meninggal. Sedangkan syariat hanya mengharamkan sesuatu yang berbahaya dan sesuatu yang bahayanya lebih banyak daripada manfaatnya.Demikian juga Muhammad al-Bahi menyatakan bahwa tidak ada bahaya sedikitpun dalam asuransi. Karena asuransi didirikan berdasarkan solidaritas dan tolong menolong, bagi hasil dan mencari keuntungan, menutup kebutuhan kaum lemah, menghindari kemiskinan, penyediaan lapangan pekerjaan bagi yang tidak mampu serta mempermudah pengusaha kacil.[13]
3.      Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial.
Pendapat ini membolehkan asuransi  bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial antara lain didukung oleh Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Universitas kairo Mesir. Alasannya asuransi yang bersifat sosial garis besarnya sama dengan alasan pendapat yang kedua. Sedangkan alasan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan pendapat yang pertama.
Muhammad Abu Zahrah sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Thantawi, dkk, menyimpulkan bahwa dalam aliran-aliran islam yang ada, transaksi yang serupa dengan asuransi tidak diperbolehkan, apapun bentuknya. Adapun Kaidah hukum yang menyatakan:  ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻰ ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ ﺍﻹ ﺑﺎﺣﺔ (Asal dalam trasanksi-transaksi adalah mubah), Tidak cukup untuk memperbolehkan asuransi, karena mengandung unsur-unsur penipuan, spekulasi, dan tidak mempunyai landasan hukum, serta tidak ada kebiasaan yang membolehkan transaksi seperti ini.[14]
4.      Menganggap asuransi syubhat
Alasannya, tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan atau menghalalkan asuransi. Dan apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat, maka konsekuensinya adalah kita dituntut bersikap hati-hati menghadapi asuransi dan kita baru diperbolehkan mengambil asuransi, apabila kita dalam keadaan darurat (emergency) atau hajat atau kebutuhan. Berdasarkan hal tersebut maka penulis menyimpulkan kaidah hukum yang diambil adalah:
اَلْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ وَالضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergency). Dan keadaan terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.”
Yusuf Qardhawi sebagaimana dijelaskan Ajat Sudrajat bahwa dalam bentuk asuransi jiwa sangat jauh sekali dari watak perdagangan dan solidaritas berserikat, bahkan lebih lanjut menurutnya asuransi jiwa merupakan akad perjanjian yang fasid, walaupun antara kedua belah pihak saling mengetahui, namun kemanafaatannya tidak berbobot. Keadaan dalam asuransi ini tidak bisa dianggap sebagai alasan halalnya perbuatan tersebut, karena muamalah ini tidak menegakkan prinsip-prinsip keadilan dengan tegas yang tidak dicampuri dengan kezaliman dan penipuan serta perampasan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain, sedang keadilan dan tidak saling membahayakan adalah pokok.[15]
Masjfuk Zuhdi, membolehkan segala bentuk serta praktek asuransi, termasuk asuransi jiwa, karena selain alasan-alasan di atas, dapat diperkuat dengan alasan-alasan sebagai berikut:[16]
a.       Asuransi sesuai dengan kaidah hukum Islam:
اَلاَصْلُ فِى الاَشْيَاءِالاِباَحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Artinya: “Pada prinsipnya pada akad-akad itu boleh, sehingga ada dali-dalil yang melarangnya”.
Bahkan terdapat ayat Al- Quran dan Al - Hadits yang mengindikasikan kehalalan asuransi jiwa, yakni Q.S. An Nisa ayat 8, dan Hadits Nabi SAW. Riwayat Al Bukhari – Muslim dari Sa’id bin Abu Waqas:
ﺇ ﻧﻚ ﺍ ﻥ ﺗﺬ ﺭ ﻭ ﺭ ﺛﺘﻚ ﺃ ﻏﻨﻴﺎ ﺀ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺃ ﻥ ﺗﺬ ﺭ ﻫﻢ ﻋﺎ ﻟﺔ ﻳﺘﻜﻔﻔﻮ ﻥ ﺍﻟﻨﺎ ﺱ 
Artinya: “Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan daripada meninggalkan mereka menjadi beban tanggungan orang banyak”.
b.      Sesuai dengan tujuan pokok hukum Islam:
ﻟﺠﻠﺐ ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻭ ﺩ ﻓﻊ ﺍﻟﻤﻔﺴﺪﺓ
Artinya: “Mencari kemaslahatan dan menghindari kerusakan / kerugian”.
c.       Sesuai kaidah hukum Islam:
ﺇ ﺫ ﺍ ﺗﻌﺎ ﺭﺽ ﺿﺮﺭﺍ ﻥ ﻓﻀﻞ ﺃ ﺧﻔﻬﻤﺎ
Artinya: “Jika ada dua bahaya/resiko yang berhadapan (berat dan ringan), maka dahulukan bahaya yang ringan atau lebih ringan.”
d.      Asuransi tidak sama dengan judi (gambling), karena asuransi bertujuan mengurangi resiko dan bersifat sosial dan membawa maslahah bagi keluarga; sedangkan judi justru menciptakan resiko, tidak bersifat sosial, dan bisa membwa malapetaka bagi yang terkait dan keluarganya.
e.       Asuransi sudah dipertimbangkan secara matematis untung ruginya bagi perusahaan asuransi dan bagi para pemegang polisnya, sehingga tidakada pihak yang dirugikan secara mutlak.
f.       Sesuai dengan asas dan prinsip hukum Islam : meniadakan kesempitan dan kesukaran dan hidup bergotng royong.
Masalahasuransi adalah masalah khilafiyah, ada yang pro dan ada yang kontra. Sebagai seorang muslim, kita harus bijaksana dalam menghadapi masalah khilafiyah seperti ini. Kita harus memilih salah satu pendapat-pendapat ulama tersebut di atas, yang dipandang kuat dalilnya atau argumennya, baik pendapat yang dipilihnya itu ringan ataupun berat untuk dilaksanakan bagi dia sendiri. Kita harus meninggalkan pendapat yang dipandang masih meragukan. Namun juga harus bersikap toleran terhadap sesama muslim yang berbeda pendapat. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi dari Ibnu Umar:
ﺍ ﺧﺘﻼ ﻑ ﺍ ﻣﺘﻰ ﺭﺣﻣﺔ
Artinya:perbedaan umatku itu rahmat.”
Yang dimaksud dengan perbedaan umat menjadi rahmat adalah perbedaan pendapat dalam masalah – masalah agama yang bersifat furu’iyah (cabang), bukan masalah-masalah yang bersifat ushuliyah (pokok-pokok ajaran).
Asuransi termasuk kategori muamalah. Dalam bidang muamalah bila terjadi perbedaan pendapat dan masing-masing disertai dalil, selain mengambil argumen yang paling kuat, juga aspek kemaslahatan bagi sendiri menurut pandangan kita sendiri. Bila asuransi dipandang lebih bermanfaat, maka kita boleh atau bisa bergabung dengan asuransi itu. Bila dipandangnya asuransi itu memberi keburukan maka tinggalkanlah. Kemudian bila terjadi pertentangn antara “kemaslahatan” dan “keyakinan”, maka ambillah jalan yang meyakinkan, karena dalam keberagamaan pada hakekatnya adalah keyakinan akan suatu kebenaran.[17]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
B.     Saran
Dari pembahasan diatas, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik itu dari cara penulisan, isi materi, penyusunan materi, dan lain-lain. Oleh karena itu, kami  selaku penyusun mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA


Ali Hasan, M. 2003. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga
Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Bin Muhammad bin Ali al-Maqri al-Fayumi, Ahmad. 1994. al-Misbah al-Munir fi
Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Raffi’I. cet. Pertama. Beirut :Dar al-Kutub
al-Iskamiyyah.

Hasan Ali, AM. 2014. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Kencana.

Iqbal, Muhammad. Tth. Asuransi Umum Syari’ah dalam Praktik. T.t: Gema
Insani Press.

Sudrajat, Ajat. 2008. Fiqh Aktual Kajian atas Persoalan-persoalan Hukum Islam
Kontemporer. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press.

Thantawi, Muhammad. 1997. Problematika Pemikiran Muslim: Sebuah Telaah
Syar’iyyah. Yogyakarta: Adi Wacana Yogya.

Zuhdi, Masjfuk. 1997. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam. Jakarta:
CV Haji Masagung.




[1] AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 57.
[2] Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Maqri al-Fayumi, al-Misbah al-Munir fi Gharib al
Syarh al-Kabir li al-Raffi’I, cet. Pertama (Beirut :Dar al-Kutub al-Iskamiyyah, 1994), hal. 21.
[3] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 95.
[4] AM. Hasan Ali, Op.Cit., hal. 65
[5] Dalam Hammurabi Code dijelaskan bahwa pedagang yang meminjam uang harus membayar bunga. Peminjam harus dilindungi (dibebaskan) dari kewajibannya bila dalam perdangannya terjadi kecelakaan. Pembayaran bunga tersebut bisa diartikan sebagai pembayaran premi. Lebih lengkap lihat Abdullah Amrin, SE, MM., Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2001), hal. 10.
[6] AM. Hasan Ali, Op.Cit., hal. 67.
[7] Yang dari widia
[8] Muhammad Iqbal, Asuransi Umum Syari’ah dalam Praktik, (Gema Insani Press: Tth), hal. 2.
[9] AM. Hasan Ali, Op.Cit., hal. 77-83
[10] Ibid., hal. 125-136
[11]Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: CV Haji Masagung,1997),  hal. 134.

[12] Ibid., hal. 137.
[13] Muhammad Thantawi, dkk, Problematika Pemikiran Muslim: Sebuah Telaah Syar’iyyah, Yogyakarta: Adi Wacana Yogya, 1997), hal. 29. 
[14] Ibid., hal. 181.
[15] Ajat Sudrajat, Fiqh Aktual Kajian atas Persoalan-persoalan hukum Islam Kontemporer, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), hal. 231-232.
[16] Masjfuk Zuhdi, Op.Cit., hal. 136-137.
[17] Ajat Sudrajat, Op.Cit., hal. 233.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar